Jangan Remehkan Opini *) Catatan HM Siradj

Monday, November 2, 2009

Baru sekitar dua bulan lalu masyarakat di tanah air memuja-muji polisi karena berhasil menembak mati gembong teroris Noordin M Top dan membekuk orang-orang dekatnya. Kini yang terjadi justru sebaliknya, hujatan datang bertubi-tubi akibat perseteruannya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini membuktikan bahwa penilaian terhadap polisi ternyata masih sangat rentan. Begitu mudah berubah, tergantung perkembangan situasi.

Apakah hal itu mencerminkan sikap masyarakat yang tidak lagi konsisten dan tidak tahu membalas budi? Sebegitu mudahkah masyarakat melupakan prestasi besar Polri yang belum seumur jagung itu? Entahlah. Nyatanya simpati dan dukungan moral berbagai elemen masyarakat hanya ditujukan kepada kedua orang pimpinan nonaktif KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Nyaris tidak terdengar dukungan terhadap polisi. Padahal, sejatinya belum secara terang benderang diketahui masyarakat, siapa yang benar dan siapa yang salah.

Siaran televisi hasil wawancara dengan beberapa orang anggota masyarakat pendukung Bibit dan Chandra menunjukkan bahwa sesungguhnya belum banyak yang tahu persis substansi masalahnya. Yang mereka dengar adalah, ada upaya dari pihak kepolisian untuk ‘mengkriminalisasi’ KPK dan karena itu mereka lantas mendukung melakukan aksi penolakan.Tidak bisa disangkal lagi bahwa dalam kaitan ini polisi telah merugi dalam hal opini publik.

Kesan bahwa penyidik Polri telah merekayasa kasus untuk mengkriminalisasi KPK telanjur menguat. Ini mengakibatkan masyarakat menjadikan Bibit dan Chandra sebagai simbol perlawanan terhadap pihak yang terkesan anti pemberantasan korupsi.

***
Pernah Terjadi di Hongkong

Ternyata hal serupa juga pernah terjadi di Hongkong. Bahkan lebih seru. ‘KPK’-nya Hongkong bernama The Independent Commission Against Corruption (ICAC). Lembaga yang berdiri pada 15 Februari 1974 ini bersifat independent dan bertanggung jawab kepada kepala pemerintahan tertinggi di Hongkong.

Meski sebagian besar anggotanya berasal dari kepolisian (seperti halnya KPK), tapi anggota ICAC tidak pernah sungkan menindak mantan kawan-kawannya di kepolisian yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Lagi pula saat itu anggota kepolisian Hongkong memang sedang jadi sorotan karena beberapa oknumnya ditengarai punya kedekatan dengan jaringan mafia Triad seperti pernah kita lihat di film-filmnya Chou Yong Fat. Maka, banyak petinggi polisi yang terkena.

Bahkan, saking semangatnya anggota ICAC membongkar korupsi di tubuh polisi, taktik dan metoda yang dilakukan dalam penyelidikan dan penyidikan kadangkala terlalu “kasar” dan “ekstrim”. Tidak jarang mereka “menyapu” seluruh anggota polisi dalam satu kesatuan. Akhirnya polisi Hongkong tidak tahan juga. Pada tahun 1977 mereka melakukan penyerangan ke kantor ICAC, tetapi keributan ini berhasil diatasi pemerintah.

Walaupun sempat terjadi benturan, ICAC terus jalan. Mereka berhasil menjerat beberapa pimpinan teras polisi Hongkong kala itu sebagai tersangka korupsi, dan memecat ratusan orang. Dan, ternyata hasilnya cukup efektif. Korupsi di tubuh polisi Hongkong pada waktu itu dalam tempo relatif singkat menurun hingga 70 persen!

***
Analogi Cicak-Buaya

Kembali ke masalah KPK versus polisi di tanah air. Penulis melihat ada komunikasi yang salah --atau setidak-tidaknya kurang bijak-- dari oknum kepolisian sejak awal kasus ini terjadi. Statemen Kabareskrim Polri Susno Duaji tentang ‘Cicak’ dan ‘Buaya’ membuat masyarakat tidak bersimpati. Analogi tersebut mengesankan adanya arogansi, meski belakangan Susno membantah telah menganalogikan KPK sebagai ‘cicak’ dan Polri sebagai ‘buaya’.

Susno terpancing melontarkan analogi kontroversial itu ketika mengetahui pembicaraannya disadap dalam masalah Bank Century. Kalimat Susno ketika itu sebagaimana dikutip Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2009 adalah, “Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa,.” Pernyataan itu kontan mengundang banyak respon negatif.

Pengamat hukum menilai, sebagai pejabat tinggi negara Susno semestinya tidak menunjukkan kontradiksi antarlembaga, apalagi sampai mengecilkan pihak lain sebagaimana tercermin dalam analogi cicak dan buaya. Lebih-lebih KPK dan polisi sejatinya sama-sama lembaga aparat hukum yang seharusnya bersinergi di barisan terdepan untuk memberantas korupsi.

Dan seperti umumnya terjadi, secara psikologis masyarakat punya kecenderungan berpihak kepada yang kecil atau dikecilkan. Maka seperti yang kita lihat, sang ‘cicak’ kemudian ramai memperoleh dukungan, termasuk dari tokoh-tokoh nasional.

Dukungan tampak lebih heboh di saat kedua pimpinan KPK resmu dijadikan tersangka dalam kasus yang berganti-ganti. Semula dugaan penyuapan, kemudian menjadi dugaan penyalahgunaan wewenang.Ketidak konsistenan dugaan terhadap Bibit dan Chandra ini membuat polisi lebih tidak mendapatkan simpati dari masyarakat.

Lebih-lebih setelah adanya pengakuan dari KPK bahwa mereka memiliki rekaman perbincangan yang mengindikasikan adanya rekaya di balik sangkaan terhadap kedua orang pimpinan nonaktif KPK tersebut. Transkrip rekaman itu bahkan sudah dimuat di beberapa surat kabar nasional. Tak ayal lagi, opini yang berkembang semakin membuat korps baju coklat cenderung semakin tersudut.

Sayangnya, pihak kepolisian terkesan tidak segera tanggap berusaha meredam opini yang merugikan pihaknya. Misalnya, segera memberi sanksi, atau paling tidak menegur anggotanya yang telah menyulut kontroversi dengan analogi 'cicak-buaya'. Yang terjadi justru sebaliknya, dan bahkan membuat opini lebih berkobar saat Polri menjebloskan Bibit dan Chandra ke ruang tahanan.

Padahal, sebagaimana dikemukakan Kapolri, penahanan dilakukan karena Bibit dan Chandra telah mengganggu proses penyidikan dengan membentuk opini publik bahwa penyidik Polri merekayasa kasus serta menyebarluaskan kesan seolah-olah KPK dikriminalisasi. Jadi, langkah ini maunya untuk membendung bola liar opini yang menyudutkan polisi. Tapi apa nyatanya? Ibarat menyiram api dengan bensin, simpati terhadap Bibit dan Chandra semakin menjadi-jadi.

Baru pada 1 November kemarin Kapolri di depan pimpinan redaksi media massa yang diundang Menkominfo menyatakan permohonan maaf atas penggunaan istilah 'cicak-buaya' yang sempat dicetuskan anggotanya, dan untuk itu dia menghimbau pers agar istilah tersebut tidak lagi digunakan di pemberitaan.

Sejatinya memang belum pasti apakah polisi salah bertindak dan belum pasti juga Bibit-Chandra tidak bersalah! Tapi nyatanya bola liar opini yang merugikan Polri terus bergerak. Itulah hebatnya opini. Jadi, jangan pernah memandang enteng sekecil apa pun opini yang berkembang. Sungguh tidak mudah membendung opini di jaman teknologi informasi nyaris tak berbatas seperti sekarang ini. Lebih-lebih dengan semakin maraknya 'jurnalisme alternatif' seperti blog, facebook, flixter dan sejenisnya. (*)

*)HM Siradj, praktisi pers pimpinan JP Telecommunications.

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

Followers

 
Copyright © zerointeraktif